Selasa, 15 April 2014

Eksistensi Kota Pangkal Pinang sebagai Kota Tambang

           Pangkal Pinang, terletak di pantai timur Pulau Bangka, Pangkal Pinang adalah kota terbesar di Pulau Bangka dan sekaligus menjadi ibukota Provinsi Bangka Belitung, yaitu kota yang dibentuk bersamaan dengan pembukaan tambang timah. Pangkal atau Pengkal yang dalam bahasa Melayu Bangka berarti pusat atau awal. Peran kota sebagai pusat industri pertambangan timah. Kata Pangkal juga mempunyai arti kota, tempat pertemuan dan transaksi perdagangan. Kota pangkal pinang yang dahulu kecil sebagai kota pertambangan sekarang berkembang menjadi pusat komersial pulau dan pelabuhan yang menghubungkan pulau-pulau disekitarnya. Kata pinang mempunyai arti yaitu karena di daerah ini banyak ditumbuhi pohon palem yang multi fungsi dan banyak tumbuh di Pulau Bangka.Kota Pangkal Pinang didirikian pada awal abad ke 19, saat Tumenggung dari Kota Mentok yaitu kota tambang tertua di Pulau Bangka ketika memerintahkan bawahannya, yaitu Batin untuk membuat pangkal-pangkal dibeberapa daerah pertambangan timah yang baru untuk dibuka. Hari jadi kota Pangkal Pinang diprediksi jatuh pada 17 September 1757 pada masa pemerintahan Sultan Susuhan Najamuddin I Adi Kusumo, pada pemerintahannya membentuk 14 pangkal di Pulau Bangka yang salah satunya yaitu Pangkal Pinang.Awal mula pusat pemukiman Pangkal Pinang dibangun ditepi sungai yang membelah kota Pangkal Pinang. Upaya atau proses pembentukkan kota Pangkal Pinang yang seperti sekarang ini sangatlah panjang, mulai dari ditemukannya biji timah yang terkandung dihampir seluruh pelosok Pulau Bangka dan sampai diekspornya seperti sekarang ini. Pangkal-pangkal pada Pangkal Pinang ini awal mulanya didiami oleh agen perekrut Cina yang bertugas untuk merekrut orang-orang Cina dari wilayah lain seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Singapura untuk dipekerjakan didaerah pertambangan timah di seluruh Bangka. Pertumbuhan kota Pangkal Pinang sebagai kota tambang seperti kota-kota tambang lainnya memang mengalami pasang surut. Mulanya kota Pangkal Pinang sebagai kota tambang kecil, namun pada tahun 1913 kota Pangkal Pinang ini dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan secara otomatis terpisah dari pusat pertambangan yang berada di Mentok. Keadaan itu telah membawa perubahan dalam pembentukkan pemukiman, komposisi demografi, aktivitas ekonomi yang lebih beragam, dan pembangunan infrastuktur. Pemukiman yang ditempati oleh masyarakat tambang dengan berbagai strata, dan masyarakat kota, dibentuk atau dibangunnya infrastruktur yaitu seperti perkantoran timah, pasar, pelabuhan, rumah sakit, tempat ibadah, sekolah dan menjadikan kota Pangkal Pinang ini berkembang.
Mengenai struktur tata ruang masyarakat Pangkal Pinang awalnya hanyalah sebuah pangkal yang telah disebutkan diatas. Pangkal atau pengumpul timah dengan parit-parit timahnya dan pemukiman disekitar Sungai Rangkui dan Sungai Pedindang yang membelah kota Pangkal Pinang. Terdapat bekas-bekas parit atau tambang timah yang masih ada dan biasa disebut dengan kolong. Ada 19 kolong yang masih tersisa. Seperti dijelaskan seiring berjalannya waktu kota Pangkal Pinang terus berubah dan berkembang dengan pesat.Luas kota Pangkal Pinang yang awalnya 2.750 km, kota Pangkal Pinang dibagi menjadi dua distrik, yaitu distrik Pangkal Pinang dengan Subdistrik Pangkal Pinang, Bukit, Mendo Barat, dan distrik Sungai Selan dengan subdistrik Sungai Selan, Air Anget, dan Pemisan. Jumlah penduduk pada tahun 1915 sekitar 23.000 orang, yang terdiri dari 100 orang Eropa, 12.800 Cina, dan 10.800 orang Bangka. Pada tahun 1920 penduduk Pangkal Pinang sebagian besar adalah orang Cina yang menjadi buruh tambang. Tapi dengan adanya mayoritas Cina tidak menjadi cirri khas dari Pangkal Pinang, namun dengan banyaknya orang Cina merupakan sebuah ciri khas dari kota-kota tambang yang berada dibagian utara dan barat Bangka.Kedatangan dari pekerja-pekerja ini yang kemudian menjadi mayoritas pekerja pada pertambangan yang menjadikan selanjutnya membentuk kongsi-kongsi pertambangan yang sangat mewarnai kota Pangkal Pinang. Menjadikan pola pemukiman pekerja tambang masyarakat Cina menjadi terdapatnya tempat ibadah seperti Kelenteng dan makam-makam yang disebut Pendem Cin. Keragaman budaya yang dibawa oleh masyarakat Cina inilah yang kemudian menjadikan kota Pangkal Pinang ini memiliki banyak sekali warisan dan tradisi seperti bahasa Cina Bangka, kesenian-kesenian, dan berbagai macam tradisi masyarakatnya.
Pada mulanya masyarakat kota dan masyarakat tambang merupakan dua masyarakat yang terpisah. Dalam hal ini masyarakat tambang lebih merupakan sebuah enclave yang terpisah dair masyarakat disekelilingnya yang diibaratkan sebuah negara didalam sebuah negara. Masyarakat kelas menengah atas yaitu staf Eropa dan Indo Eropa, mereka tinggal di zona ekslekusif pada daerah ketinggian didekat kantor pusat perusahaan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas-fasilitas memadai. Pada kelas lain seperti kelas bawah atau kelas buruh tambang tinggal pada rumah-rumah kongsi yang berada didaerah sekitar pertambangan.Masyarakat kelas bawah atau orang-orang yang tinggal di kongsi-kongsi dagang dipimpin oleh kepala tambang atau kepala kongsi. Kepala kongsi inilah yang mengurus keperluan buruh tambang serta mengontrol kerja para buruh tambang. Tradisi buruh Cina juga masih ada dan proses asimilasi dengan penduduk setempat masih jarang terjadi, yaitu sebuah nama kampung yang mengacu pada nama tambang. Lambat laun setelah Indonesia merdeka, masyarakat tambang sudah mulai heterogen dan orang-orang Indonesia sudah mulai bekerja di tambang, pekerja Indonesia ini mulai mendirikan rumah-rumah bedeng disekitar tambang.Penambang timah kebanyakan dari suku Hakka, yang sebetulnya penambang timah ini merupakan representasi sekampung sehingga solidaritas mereka yang berasal dari kampung sangatlah kuat. Tetapi saat kongsi-kongsi dagang dihapuskan orang-orang Cina kemudian membuat rumah-rumah disekitar daerah penambangan dan akhirnya dengan melalui proses bisa membaur dengan masyarakat sekitar.Tenaga kerja yang bekerja langsung dibawah pengawasan orang-orang Eropa didaerah pertambangan lepas pantai.
Saat dihapusnya sistem kongsi, membeir pengaruh terhadap perubahan komposisi tenaga kerja dan pola pemukiman buruh tambang dimulai pada tahun 1930’n. Sebagian besar orang-orang Cina yang turun temurun di Bangka dan bekerja didaerah penambangan lepas pantai tinggal dirumah pribadi, dan untuk orang Indonesia yang berasal dari luar Bangka menempati kompleks perumahan yang disediakan oleh perusahaan. Hingga mereka membentuk komunitas yangs semula dari komunitas kongsi Cina yang tertutup dari luar berubah menjadi komunitas Cina yang berasal dari dalam sebuah kampung, dan disinilah mulai berlangsung inrteraksi antara orang Melayu Bangka. Perubahan itu diiringi dengan semakin terjalin kerja sama dengan buruh-buruh lain. Sumber:
Erwiza Erman. 2009. Dari Pembentukkan Kampung ke Perkara Gelap, Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Yogyakarta: Ombak.