Pangkal Pinang, terletak di pantai timur Pulau
Bangka, Pangkal Pinang adalah kota terbesar di Pulau Bangka dan sekaligus
menjadi ibukota Provinsi Bangka Belitung, yaitu kota yang dibentuk bersamaan
dengan pembukaan tambang timah. Pangkal atau Pengkal yang dalam bahasa Melayu Bangka
berarti pusat atau awal. Peran kota sebagai pusat industri pertambangan timah.
Kata Pangkal juga mempunyai arti kota, tempat pertemuan dan transaksi
perdagangan. Kota pangkal pinang yang dahulu kecil sebagai kota pertambangan
sekarang berkembang menjadi pusat komersial pulau dan pelabuhan yang menghubungkan
pulau-pulau disekitarnya. Kata pinang mempunyai arti yaitu karena di daerah ini
banyak ditumbuhi pohon palem yang multi fungsi dan banyak tumbuh di Pulau
Bangka.Kota Pangkal Pinang didirikian pada awal
abad ke 19, saat Tumenggung dari Kota Mentok yaitu kota tambang tertua di Pulau
Bangka ketika memerintahkan bawahannya, yaitu Batin untuk membuat pangkal-pangkal dibeberapa daerah pertambangan
timah yang baru untuk dibuka. Hari jadi kota Pangkal Pinang diprediksi jatuh
pada 17 September 1757 pada masa pemerintahan Sultan Susuhan Najamuddin I Adi
Kusumo, pada pemerintahannya membentuk 14 pangkal di Pulau Bangka yang salah
satunya yaitu Pangkal Pinang.Awal mula pusat pemukiman Pangkal Pinang
dibangun ditepi sungai yang membelah kota Pangkal Pinang. Upaya atau proses
pembentukkan kota Pangkal Pinang yang seperti sekarang ini sangatlah panjang,
mulai dari ditemukannya biji timah yang terkandung dihampir seluruh pelosok
Pulau Bangka dan sampai diekspornya seperti sekarang ini. Pangkal-pangkal pada
Pangkal Pinang ini awal mulanya didiami oleh agen perekrut Cina yang bertugas
untuk merekrut orang-orang Cina dari wilayah lain seperti Jawa, Kalimantan,
Sulawesi hingga Singapura untuk dipekerjakan didaerah pertambangan timah di
seluruh Bangka. Pertumbuhan kota Pangkal Pinang sebagai kota tambang seperti
kota-kota tambang lainnya memang mengalami pasang surut. Mulanya kota Pangkal Pinang sebagai kota
tambang kecil, namun pada tahun 1913 kota Pangkal Pinang ini dijadikan sebagai
pusat pemerintahan dan secara otomatis terpisah dari pusat pertambangan yang
berada di Mentok. Keadaan itu telah membawa perubahan dalam pembentukkan
pemukiman, komposisi demografi, aktivitas ekonomi yang lebih beragam, dan
pembangunan infrastuktur. Pemukiman yang ditempati oleh masyarakat tambang
dengan berbagai strata, dan masyarakat kota, dibentuk atau dibangunnya
infrastruktur yaitu seperti perkantoran timah, pasar, pelabuhan, rumah sakit,
tempat ibadah, sekolah dan menjadikan kota Pangkal Pinang ini berkembang.
Mengenai struktur tata ruang masyarakat
Pangkal Pinang awalnya hanyalah sebuah pangkal yang telah disebutkan diatas.
Pangkal atau pengumpul timah dengan parit-parit timahnya dan pemukiman
disekitar Sungai Rangkui dan Sungai Pedindang yang membelah kota Pangkal
Pinang. Terdapat bekas-bekas parit atau tambang timah yang masih ada dan biasa
disebut dengan kolong. Ada 19 kolong
yang masih tersisa. Seperti dijelaskan seiring berjalannya waktu kota Pangkal
Pinang terus berubah dan berkembang dengan pesat.Luas kota Pangkal Pinang yang awalnya
2.750 km, kota Pangkal Pinang dibagi menjadi dua distrik, yaitu distrik Pangkal
Pinang dengan Subdistrik Pangkal Pinang, Bukit, Mendo Barat, dan distrik Sungai
Selan dengan subdistrik Sungai Selan, Air Anget, dan Pemisan. Jumlah penduduk
pada tahun 1915 sekitar 23.000 orang, yang terdiri dari 100 orang Eropa, 12.800
Cina, dan 10.800 orang Bangka. Pada tahun 1920 penduduk Pangkal Pinang sebagian
besar adalah orang Cina yang menjadi buruh tambang. Tapi dengan adanya
mayoritas Cina tidak menjadi cirri khas dari Pangkal Pinang, namun dengan
banyaknya orang Cina merupakan sebuah ciri khas dari kota-kota tambang yang
berada dibagian utara dan barat Bangka.Kedatangan dari pekerja-pekerja ini yang
kemudian menjadi mayoritas pekerja pada pertambangan yang menjadikan
selanjutnya membentuk kongsi-kongsi pertambangan yang sangat mewarnai kota
Pangkal Pinang. Menjadikan pola pemukiman pekerja tambang masyarakat Cina
menjadi terdapatnya tempat ibadah seperti Kelenteng dan makam-makam yang
disebut Pendem Cin. Keragaman budaya yang dibawa oleh masyarakat Cina inilah
yang kemudian menjadikan kota Pangkal Pinang ini memiliki banyak sekali warisan
dan tradisi seperti bahasa Cina Bangka, kesenian-kesenian, dan berbagai macam
tradisi masyarakatnya.
Pada mulanya masyarakat kota dan
masyarakat tambang merupakan dua masyarakat yang terpisah. Dalam hal ini
masyarakat tambang lebih merupakan sebuah enclave yang terpisah dair masyarakat
disekelilingnya yang diibaratkan sebuah negara didalam sebuah negara.
Masyarakat kelas menengah atas yaitu staf Eropa dan Indo Eropa, mereka tinggal
di zona ekslekusif pada daerah ketinggian didekat kantor pusat perusahaan dan
dilengkapi dengan berbagai fasilitas-fasilitas memadai. Pada kelas lain seperti
kelas bawah atau kelas buruh tambang tinggal pada rumah-rumah kongsi yang
berada didaerah sekitar pertambangan.Masyarakat kelas bawah atau orang-orang
yang tinggal di kongsi-kongsi dagang dipimpin oleh kepala tambang atau kepala
kongsi. Kepala kongsi inilah yang mengurus keperluan buruh tambang serta
mengontrol kerja para buruh tambang. Tradisi buruh Cina juga masih ada dan
proses asimilasi dengan penduduk setempat masih jarang terjadi, yaitu sebuah
nama kampung yang mengacu pada nama tambang. Lambat laun setelah Indonesia
merdeka, masyarakat tambang sudah mulai heterogen dan orang-orang Indonesia
sudah mulai bekerja di tambang, pekerja Indonesia ini mulai mendirikan
rumah-rumah bedeng disekitar tambang.Penambang timah kebanyakan dari suku
Hakka, yang sebetulnya penambang timah ini merupakan representasi sekampung
sehingga solidaritas mereka yang berasal dari kampung sangatlah kuat. Tetapi
saat kongsi-kongsi dagang dihapuskan orang-orang Cina kemudian membuat
rumah-rumah disekitar daerah penambangan dan akhirnya dengan melalui proses
bisa membaur dengan masyarakat sekitar.Tenaga kerja yang bekerja langsung
dibawah pengawasan orang-orang Eropa didaerah pertambangan lepas pantai.
Saat dihapusnya sistem kongsi, membeir
pengaruh terhadap perubahan komposisi tenaga kerja dan pola pemukiman buruh
tambang dimulai pada tahun 1930’n. Sebagian besar orang-orang Cina yang turun
temurun di Bangka dan bekerja didaerah penambangan lepas pantai tinggal dirumah
pribadi, dan untuk orang Indonesia yang berasal dari luar Bangka menempati
kompleks perumahan yang disediakan oleh perusahaan. Hingga mereka membentuk
komunitas yangs semula dari komunitas kongsi Cina yang tertutup dari luar
berubah menjadi komunitas Cina yang berasal dari dalam sebuah kampung, dan
disinilah mulai berlangsung inrteraksi antara orang Melayu Bangka. Perubahan
itu diiringi dengan semakin terjalin kerja sama dengan buruh-buruh lain. Sumber:
Erwiza Erman. 2009. Dari Pembentukkan Kampung ke Perkara Gelap,
Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Yogyakarta: Ombak.